Forget Me Not [Chapter 3]

Poster6

FORGET ME NOT

CHIELICIOUS © 2015

Main Cast:

  • Xi Lu Han
  • Park Cho Rong

Rating: PG-15

Genre: Romance

Length: Chaptered

No bashing. No Plagiarism. Don’t be a silent reader. Happy reading!

***

CHAPTER 3

***

Pagi ini, seperti biasa The Blossom sudah dibuka dari pukul tujuh pagi. Chorong yang sedang sibuk merangkai beberapa bouquet yang sudah dipesan oleh beberapa pelanggan hari ini. Sedangkan Chanyeol membantunya untuk menyirami bunga-bunga hidup yang berada di depan etalase. Hari ini Chanyeol sedang tidak ada kelas perkuliahan maupun part time job, jadi dia memutuskan untuk menemani kakak kesayangannya itu menjaga toko bunga kecilnya. Ia tak pernah merasa keberatan untuk membantu Chorong, tapi kakaknya selalu saja menolak niat baiknya. Chorong bilang tugasnya hanyalah giat belajar, menyelesaikan kuliah tepat waktu dan mendapatkan gelar sarjana. Tidak perlu memikirkan ia harus bekerja paruh waktu untuk membantunya dan keluarga. Chanyeol juga tak perlu mengkhawatirkan semua biaya, Chorong saja yang bekerja itu saja sudah cukup. Tapi si bungsu merasa keberatan, sangat. Ia anak laki-laki satu-satunya di keluarga Park, dan tidak etis rasanya membiarkan kakak perempuan dan orang tuanya yang bekerja keras demi dirinya.

Apalagi dengan Chorong yang seperti itu. Ia sangat khawatir. Mungkin karena terlalu sayang.

Chanyeol memperhatikan kakak perempuannya itu, gadis itu selalu tak pernah kehilangan senyumannya setiap hari. Tangan cekatannya dengan ulet merangkai beberapa bunga segar dan membentuknya menjadi sebuah rangkaian bunga yang indah. Chanyeol selalu kagum dengan sense yang dimiliki kakaknya tentang bunga. Sejenak ia melupakan kekhawatirannya pada kakak satu-satunya itu.

Ia ikut bahagia jika Chorong juga bahagia. Ia bahagia ketika melihat senyuman Chorong. Itu saja sudah cukup rasanya.

Noona, perlu bantuan?” ujarnya setelah menyelesaikan tugasnya menyirami bunga.

Chorong mengalihkan pandangannya sejenak dari rangkaian bunga di depannya. “Ah, iya, tolong rapikan kemasan buket yang itu, lalu tolong juga lihat dan catat alamatnya di kertas.”

Ia hanya mendecak melihat kakaknya sedang sibuk. Kedua tangan Chorong masih juga bekerja sembari berbicara dengan Chanyeol. Pagi ini tidak banyak daftar order bouquet bunga, tapi cukup membuat Chorong sibuk karena harus dikirim sebelum pukul sembilan.

Chorong masih berkutat dengan bunga-bunga itu, ia menyelesaikan mengemas buket-buket  bunga yang cantik itu sebelum pukul sembilan. Chanyeol yang membantunya mengecek list pesanan mereka, mencatat pesan singkat untuk orang yang diberi bunga dan mencatat alamatnya cukup membantu pekerjaan Chorong pagi ini. Setelah selesai semuanya, gadis itu mulai mempersiapkan sepedanya dan bersiap untuk mengantarkan bunga.

Noona, mau mengantar ini semua sendirian?” Chorong hanya tersenyum dan mengangguk. “Kukira noona akan menyuruhku untuk mengantar juga.”

“Kau di sini saja menjaga toko, Chanyeol-ah.”

“Aku siap membantu noona apapun yang Chorong noona mau,” senyuman lebar sang adik laki-laki membuatnya geli, kemudian mengacak-acak ujung kepala Chanyeol. “Tapi, kalau nanti ada orang yang membeli bunga bagaimana? Aku tidak bisa menghafal semua bunga yang ada di sini, dan aku juga tidak punya sense untuk merangkai bunga seperti noona.

Sekali lagi adiknya ini membuat Chorong tersenyum, “Semua bunga ada labelnya di setiap potnya. Kau bisa melakukannya, aku yakin.”

Chanyeol tak bisa membantah lagi. Sebenarnya dibalik semua alasannya, ia hanya merasa khawatir dengan kakaknya. Ini memang sedikit berlebihan, entahlah ia hanya merasakan kecemasan yang tak bisa diartikan ketika Chorong tak ada dalam pengawasannya. Dia juga tak tahu kapan tepannya ia mulai overprotectif pada kakak perempuannya.

Lagi-lagi Chanyeol hanya bisa melihat lambaian tangan kakaknya yang mulai mengayuh sepeda kecil itu menjauh. Semoga noona kembali secepatnya, batinnya.

***

 

Junglim Architecture Building, 5th floor, room no. 1103, Ssangnim-dong, Jung-gu.

Ini adalah pesanan terakhir yang ia antar hari ini. Cukup melelahkan tapi ia tetap merasa senang. Tepat pukul sembilan lebih lima menit ia tiba di gedung megah yang dindingnya dipenuhi dengan kaca itu. Sejenak ia terpesona, lalu kembali melihat catatan kecil di buku agendanya. Ia meleset lima menit dari perkiraan yang semula akan tiba di gedung mewah ini tepat pukul sembilan pagi.

Dengan sedikit terburu-buru, gedung ini terlalu luas untuk dijelajahinya sendirian. Memang tertulis jelas alamat pemesan. Lantai 5 ruangan nomor 1103. Sialnya ia tak mendapatkan petunjuk sama sekali. Semua orang yang di sana terlihat sibuk dengan urusannya masing-masing, jadi Chorong mengurungkan niatnya untuk sekedar bertanya.

Ketika ia menemukan lift, hatinya agak sedikit lega. Setidaknya ia harus naik dulu ke lantai lima, lalu mencari ruangan nomor 1103. Sekali lagi ia mengeluhkan gedung ini terlalu besar untuk dijelajahinya sendirian. Lantai lima yang luas dan banyak ruangan di sana. Chorong mempercepat langkahnya, ia sudah membuang sepuluh menitnya hanya untuk mencari satu ruangan. Jika ia tersesat maka ia akan perlu waktu lebih banyak lagi untuk menemukan satu ruangan itu, dan bersiaplah untuk menerima omelan customer karena ketidaktepatan waktu.

Jalannya semakin terburu hingga ia tak melihat tanda lantai basah di ujung koridor itu. Kakinya tak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya lagi. Dan buket bunga ditangannya terlempar ke atas. Oh, tidak jangan terpeleset disaat seperti ini, batinnya. Tubuhnya oleng dan yang terjadi selanjutnya malah ia tak merasakan pantatnya menyentuh permukaan lantai. Sebuah tangan menahan bagian belakang tubuhnya. Ketika ia membuka mata, wajah tampan milik seseorang sedang memandangnya lekat dengan mata indahnya yang bersinar. Sesaat ia sedikit terhipnotis oleh pupil hitam yang bersinar itu.

“Kau baik-baik saja?”

Chorong sadar dia ada di posisi yang salah, kemudian dengan segera gadis itu melepaskan tangan si pemuda yang menahan tubuhnya. Dan buket bunga itu tidak ada di tangannya, “oh buket bungaku!”

Pemuda mengangkat tangannya yang lain. Buket bunga pesanan itu masih utuh, dan dalam keadaan baik-baik saja.

“Ah, syukurlah. Aku bisa mendapatkan masalah jika mereka rusak,” ujarnya, menerima buket bunga dari tangan pemuda itu. “Gamsahabnida atas pertolongannya,” tambahnya sambil membungkukkan badannya.

Pemuda itu tersenyum, “it doesn’t matter.” Lalu pemuda itu melangkahkan kakinya mulai meninggalkan Chorong.

“Ah, jogiyo,” kata Chorong membuat pemuda tadi menghentikan langkahnya, lalu menoleh kea rah Chorong. “Apakah kau tahu dimana letak ruangan nomor 1103?”

Pemuda itu kembali menampakkan senyumnya. Dan dia terlihat sangat tampan dengan mata hitamnya yang bersinar.

With his deer eyes.

 

***

Berdiri di kejauhan dan memperhatikan setiap kegiatan yang dilakukan gadis itu setiap ia pulang dari kantor. Entah sejak kapan ia mulai bertingkah seperti stalker, dan entah sampai kapan ia akan mengakhiri ini. Minseok bilang ia harus mengikuti apa kata hatinya. Ya, ini yang dikatakan oleh hatinya. Ia tak bisa melepas kesempatan begitu saja, tapi kalau harus mulai dari awal lagi sepertinya akan menjadi lebih berat. Dan pada akhirnya seperti inilah yang dapat ia lakukan. Setidaknya ia bisa melihat senyuman manis gadis itu setiap hari meskipun dari jauh.

Sudah beberapa bulan setelah ia pindah lagi ke Seoul, dan memulai pekerjaannya sebagai manajer di sebuah perusahaan furniture yang cukup besar di Korea Selatan yang membuatnya sedikit sibuk. Dan sudah beberapa bulan sejak ia bertatap muka secara langsung dengan Chorong secara tidak sengaja di koridor kantor. Gadis itu terpeleset dan ia menolongnya, lalu gadis itu meminta bantuan untuk menemukan sebuah ruangan di gedung tempat ia bekerja sambil mengatakan kalau ia harus segera mengantar bouquet pesanan seseorang yang ada di kantornya. Sebuket bunga Amaryllis yang pada akhirnya bertengger di sudut ruangan kerjanya hadiah dari staff sebagai ucapan selamat datang pada manajer baru mereka.

Itu suatu kebetulan yang mengejutkannya.

Seratus meter dari tempatnya berdiri, di seberang jalan, ia bisa melihat gadis itu selelu sibuk dengan pekerjaannya. Merangkai beberapa batang bunga sambil menggumamkan sebuah lagu. Luhan tahu betul apa yang menjadi kebiasaan Chorong. Mungkin bagi sebagian orang ini akan menjadi sangat melelahkan, mencintai tapi hanya bisa memperhatikan dari jauh. Tapi ini sudah cukup bagi Luhan, mengingat Park Chorong sekarang sudah tidak mengenalnya lagi.

Chorong menutup The Blossom lebih awal kali ini. Tak tahu kenapa ia hanya ingin pulang ke rumah dan makan malam bersama keluarganya yang selama ini sering ia lewatkan karena pulang terlalu larut malam. Ia mengunci pintu toko, lalu berjalan sendiri menuju rumah yang tidak terlalu jauh dari kompleks pertokoan.

Setelah melewati beberapa belokan, ia berhenti di depan sebuah café. Tiba-tiba saja Chorong ingin mampir untuk sekedar menikmati secangkir kopi. Ia mengambil tempat duduk di sebelah jendela café, menikmati suasana jalanan pada malam hari. Dan seperti biasa Ice Americano sudah ada di depannya. Chorong menghela napas, sepertinya sudah lama ia tak melakukan ini. Seperti merasa de javu.

Jogiyo, bolehkah aku duduk di sini?” kata seorang pemuda, tiba-tiba. Chorong sedikit kaget membuat lamunannya dibuyarkan oleh pemuda itu.

“Ah, ne, silahkan,” jawabnya.

Pemuda itu tersenyum. Mereka hanya saling diam. Dan mata itu menatap Chorong, entah kenapa seperti pernah melihatnya. Chorong mengalihkan pandangannya pada jalan di seberang. Ia tahu pemuda itu masih memandangnya yang sometimes membuatnya agak kurang nyaman.

“Kau… gadis Amaryllis itu?”

Reflek Chorong menoleh ke arah si pemuda yang berada di depannya setelah mendengar kata pertama yang keluar dari bibirnya. “Ne?”

“Kau gadis yang mengantar bunga ke kantorku beberapa bulan yang lalu.”

Chorong masih bingung. Ia berusaha mengingat. Memang betul ia sering mengantarkan bunga tapi beberapa bulan yang lalu itu sudah lama. Ia tidak terlalu mengingatnya lagi, lagipula banyak customer dan ia tak pernah hafal satu per satu.

“Ah, maaf, aku agak pelupa,” balasnya, setelah tidak berhasil mengingat apapun tentang pemuda yang katanya pernah bertemu dengannya beberapa bulan yang lalu.

Pemuda itu hanya tersenyum, lalu menyeruput kopinya. “Tak apa, kau tak perlu berusaha keras untuk mengingatnya.”

“Maaf aku tak mengingat apapun.”

“Mungkin kau lupa, kita pernah bertemu beberapa kali.”

“Benarkah?”

Ya, sangat sering. Hampir setiap hari.

Pemuda itu kembali tersenyum, lalu mengangguk. Ia sudah memulai langkahnya, dan ini yang ia sebut sebagai awal yang baru untuk memulai lagi dari nol. Akan lebih menyakitkan jika memang ia gagal membuat Chorong mengingatnya. Tapi ia akan berusaha, pelan-pelan. Ini sudah menjadi kemantapan hatinya. Bukankah Minseok bilang ia harus mengikuti kata hatinya?

“Ya. Beberapa kali. Oh, namaku Luhan, nice to meet you.

***

Chorong berbaring di ranjangnya, membenamkan kepalanya dengan selimut. Setelah makan malam dan membantu ibunya membereskan meja makan, ia merasa lelah dan mengantuk. Tapi setelah berbaring di tempat tidurnya seperti sekarang, ia malah tidak bisa memejamkan matanya. Rasa kantuknya hilang seketika.

Tiba-tiba ia mengingat pemuda yang tadi ngobrol bersamanya di café. Seperti pernah melihat, tapi ia tak bisa mengingat apapun. Hanya saja matanya dan tatapan pemuda itu selalu terbayang. Seperti seseorang, tapi Chorong tak menemukan clue sedikitpun. Pemuda bernama Luhan itu, ah ia seketika merasakan nyeri kepala jika terlalu memaksa seperti ini.

Ia memaksa untuk memejamkan matanya. Ya, besok ia harus bengun pagi, dan pergi ke rumah sakit untuk medical checkup yang ia lakukan setiap bulannya. Chorong menaikkan selimutnya, membenamkan badannya di dalam selimut hangat. Menepis semua pikiran yang membuatnya pusing jika terlalu dipaksakan. Sekarang saatnya untuk mengistirahatkan otak agar besok ia bisa bangun pagi.

Pukul delapan ia sudah bersiap berangkat ke rumah sakit. Ia terbiasa berangkat pagi, agar ia tetap bisa bekerja dan membuka The Blossom meskipun ia harus pergi ke rumah sakit juga. Seperti biasa, ia menolak tawaran adik laki-lakinya untuk mengantarnya ke rumah sakit. Chorong selalu bilang pada Chanyeol kalau dia tak perlu lagi khawatir karena Chorong bisa melakukannya sendiri. Chorong hanya ingin mandiri, tak selamanya ia harus meminta bantuan pada orang lain. Ia juga ingin agar adiknya, juga ayah dan ibunya percaya padanya. Ia bukan lagi gadis kecil, ia seorang wanita berumur dua puluh lima tahun yang seharusnya bisa lebih mandiri.

“Chorong-ah, jangan lupa pakai syalmu, juga coat yang tebal. Di luar sangat dingin, angin musim gugur sudah datang,” ujar ibunya khawatir.

“Kau harus naik bus nomor #4318 dari halte nomor 501, lalu turun di halte nomor 415, kau tidak lupa kan?” sang ayah tak kalah khawatir.

Noona, telpon aku jika terjadi apa-apa,” tambah Chanyeol.

 “Jangan khawatir, kalian tahu aku bisa melakukannya sendirian,” jawab Chorong dengan senyum yang menenangkan. “Aku berangkat.”

Chorong sedikit tergelitik melihat tingkah ayah, ibu, dan adik laki-lakinya. Mereka terlalu protective, terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang tidak perlu dikhawatirkan dengan berlebihan. Ia tahu bahwa ia anak perempuan yang patut dijaga, tapi ayolah ia sudah dua puluh lima. Entahlah sampai saat ini Chorong tak paham kenapa orang tua dan adiknya bertingkah seperti itu.

Setelah sampai di rumah sakit, dan menemui dokter Ahn, Chorong langsung kembali ke toko bunganya. Medical checkup hari ini tidak terlalu lama seperti biasanya, ia hanya datang untuk berkonsultasi pada dokter Ahn. Tak butuh waktu lama, mereka hanya mengobrol santai seperti biasanya. Dokter wanita itu yang sudah seperti kakak perempuannya sendiri.

Setelah turun dari bis, ia berniat mampir ke café dekat The Blossom untuk sekedar memesan segelas kopi kesukaannya. Segelas Ice Americano setidaknya bisa mengembalikan segala mood karena banyak hal yang harus ia kerjakan setelah ini.

“Oh, nona Amaryllis kau berada di sini juga,” ujar seseorang yang sekarang sudah berdiri di depan tempat duduknya. Seperti biasa, Chorong mengambil tempat di dekat jendela kaca coffee shop yang luas menghadap jalan raya. Itu adalah tempat favoritnya.

Chorong membalas sapaan pemuda itu. “Ah ne, annyeonghaseyo, err-…” dan Chorong lupa siapa namanya.

“Luhan,” sahun Luhan cepat. Lalu pemuda itu langsung mengambil duduk di hadapan Chorong.

“Ah, iya, Luhan-sshi, aku hanya mampir sebentar sebelum aku pergi ke toko bungaku dan kembali melakukan pekerjaanku di sana,” jelas gadis itu.

Luhan mengerti, “kau adalah pemilik sebuah toko bunga? Berarti buket yang waktu itu kau yang merangkainya sendiri, ya?”

“Tentu saja,” jawab Chorong.

“Aku menyukai buket bunga yang kau rangkai.”

Gadis itu masih sama. Masih gadis manis yang Luhan kenal dahulu. Masih gadis yang menyukai Ice Americano. Mereka berbincang banyak sekali –Luhan yang banyak bercerita tentang dirinya, dan Chorong dengan senang hati mendengar setiap ceritanya. Masih seperti dulu, binar matanya, tatapan antusiasnya, senyumnya, semuanya.

Ini memang terlihat tak biasa, ya, ia tak biasa langsung bisa akrab dengan seseorang. Meskipun setiap hari ia bertemu dengan orang baru para pembeli bunga di tokonya, menghafal wajah mereka saat itu juga tetapi besoknya ia akan lupa. Dengan Luhan, ia seperti merasa pernah bertemu dan berteman lama. Ya, pernah.

“Ngomong-ngomong soal buket bungamu, seleramu sangat bagus untuk menyenangkan hati orang lain.”

Wajahnya sedikit terlihat semburat merah. Chorong tersipu malu mendapatkan pujian yang seperti itu. “Syukurlah kalau kau menyukainya. Aku bahagia jika bunga-bunga itu bisa membuat hati orang lain bahagia. Seperti bunga matahari di pagi hari yang membuat siapapun yang melihatnya pasti akan bahagia.”

Luhan bisa melihatnya, bahwa ketulusan gadis ini membuat orang lain bahagia. Seperti bunga matahari di pagi hari, ya Chorong seperti bunga matahari yang mekar di pagi hari.

“Lalu kenapa kau memilih Amaryllis untukku?”

“Hanya feeling, seorang staff di kantormu menelpon dan memesan sebuah buket bunga untuk manajer baru mereka. Aku rasa Amaryllis cukup menggambarkan ucapan selamat datang dengan penuh cinta dan penghormatan,” tambahnya.

Luhan mengangguk mendengar penjelasan gadis itu. Bukan awal yang buruk baginya untuk memulai kembali dengan Chorong. Ia jadi teringat dulu saat pertama kali bertemu dan mengenal Park Chorong. Luhan tersesat ditengah-tengah pertokoan Myeongdong ketika sedang mencari alamat apartemen yang akan menjadi tempat tinggalnya selama di Seoul. Ia belum bisa berkomunikasi dengan bahasa Korea saat itu, dan tak ada satupun orang yang ditanyainya mengerti bahasa Mandarin dan bahasa Inggris. Chorong dengan kameranya menghampirinya yang sedang frustasi duduk di pinggir jalan. Gadis itu yang pertama kali menyapanya, mengajaknya berbincang-bincang dengan bahasa Mandarin, dan bersedia mengantarkannya ke alamat apartemennya dengan ikhlas.

Gadis itu tiba-tiba berdiri, menenteng tasnya. “Ah, maaf, aku harus pergi. Sudah saatnya toko dibuka. Aku harus kembali.”

“Aku akan mengantarmu, jika kau tidak keberatan.”

“Tidak apa-apa aku bisa jalan kaki, tidak terlalu jauh dari sini,” gadis itu menolak dengan lembut.

“Kalau begitu akan aku temani kau jalan kaki.”

“Kau tak apa? Ah, maksudku pekerjaanmu, apa kau tidak terlambat masuk?” kali ini gadis itu menjadi sedikit sungkan. Pemuda ini terlalu baik padanya.

Luhan mengangguk yakin, disertai dengan senyuman tampannya. Ya, ini kesempatan emas pikirnya. Kapan lagi ia bisa jalan berdua dengan Chorong kalau bukan sekarang. Meskipun ia membawa mobil yang ia parkir di depan kedai kopi, meskipun nanti mungkin ia akan mendapatkan penalty karena terlambat masuk. Tapi baginya ini saat-saat yang sayang untuk dilewatkan. Ia begitu senang, sangat senang bisa mengenal Chorong kembali.

“Kantorku tidak jauh dari toko bungamu. Tak apa jangan mengkhawatirkanku.”

Mereka berdua berjalan beriringan. Rasanya seperti de javu. Luhan sering mengantar Chorong pulang, meskipun tak sampai depan rumah karena apartemen Luhan berbeda arah dengan rumah Chorong. Mereka mengobrolkan banyak hal, Chorong masih seperti tour guide  baginya. Ia selalu menceritakan tempat-tempat bagus di sekitar Jung-gu. Itu yang membuatnya senang, bisa mengobrolkan banyak hal dengan Chorong.

“Sepertinya kita harus berpisah di sini,” ujar Chorong, mereka sedang berada di persimpangan jalan. “Kau harus belok kiri dan itu tokoku ada di kanan jalan sudah terlihat. Kurasa tak apa kau mengantarku sampai di sini saja, lagipula aku khawatir jika mereka memarahimu karena kau terlambat.”

Luhan terkekeh melihat Chorong. Lalu Chorong memberi salam perpisahan padanya, dan berbalik menuju tokonya yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ah, seperti biasa pemuda itu mengawasi Chorong dari belakang.

Ia melihat seorang pemuda tinggi berdiri di depan The Blossom. Chorong menghampirinya sambil berlari kecil, lalu memberinya sebuah pelukan hangat. Dan pria itu membalas pelukan Chorong, kemudian mengacak-acak rambut coklat gadis itu. Luhan melihatnya, ya ia melihat semuanya. Ada sesuatu yang terasa mencubit hatinya. Ia tak tahu kenapa tapi rasa seperti cemburu itu tiba-tiba muncul. Ia tak tahu siapa pemuda itu, yang jelas mereka terlihat sangat dekat.

Mungkin temannya, atau mungkin lebih dari sekedar teman. Mungkin saudaranya, atau mungkin kekasihnya. Sungguh tiba-tiba perasaan ini membuatnya tidak nyaman. Luhan dan Chorong tak ada hubungan apa-apa untuk saat ini, tapi sungguh cemburu tapi tidak saling memiliki adalah hal aneh yang sekali ini ia rasakan seumur hidupnya. Tak tahu apa-apa, hanya sibuk menebak-nebak saja. Mungkin lain kali ia bisa bertanya pada Chorong, pikirnya.

***

to be continue

***

Halo halo halo yorobeun~ Apa kabar?

Ini posting saya yang pertama di tahun 2015 kayaknya haha setelah banyak drama dalam hidup saya dan exo akhirnya bisa memposting sesuatu di blog yang kelihatannya sudah berdebu 5 centimeter ini 😀 

For the first time, meskipun saya dan urusan kuliah saya yang tak kunjung menemukan ujungnya. Jadi ceritanya suatu hari saya lagi nggalauin proposal skripsi saya yang semakin hari semakin minta dielus-elus biar nurut, terus saya iseng buka dokumen fanfic yang belum selesai. Dan yeah, jadilah lanjutan Forget Me Not ini. Saya sangat minta maaf atas keterlambatan update karena yeah saya punya real life yang so hectic and so cruel khas mahasiswa semester akhir. Dan saya juga minta maaf kalo ceritanya semakin aneh dengan bahasa yang kaku dan tentu saja typo, ya saya merasa setelah berkecimpung dengan proposal penelitian yang penuh dengan teori-teori dan variabel-variabel membuat gaya penulisan saya sepertinya mengalami kemunduran. Dan ini hanya para reader yang bisa menilai. 

So guys, give me your comments, suggestions, criticism, support, or everything. Thanks so much. Bye~ ^^

4 thoughts on “Forget Me Not [Chapter 3]

  1. Uwoo.. Kakak…
    Kenapa aku baru tau ff ini di update ><
    Rasanya lamaaa banget aku nunggunya. Makin menarik, complicated gitu ceritanya. Apalagi Chorong disini memorinya cuma satu harian gitu ya kak? Kasian Luhan harus memulai dari nol.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s